Solusi Warga Tak Mampu Punya Rumah Bukan Tapera, Tapi Harga Murah

- 9 Juni 2024, 22:00 WIB
Ilustrasi Tapera.
Ilustrasi Tapera. /Pikiran Rakyat

JAMBIAN.ID - Sebagian besar orang menilai penerapan undang-undang tabungan perumahan rakyat (Tapera) sangat keliru, karena bukan solusi utama untuk mengatasi kesulitan warga memiliki rumah. Persoalan utamanya adalah harga rumah dan tanah yang terus mengalami kenaikan.

Aturan baru Tapera mewajibkan setiap pekerja di sektor swasta untuk menyisihkan 2,5 persen dari gajinya untuk tabungan rumah, dan iuran 0,5 persen dari pemberi kerja, menuai kritik tajam. Pasalnya, selain dianggap membebani pekerja, TAPERA juga dinilai tidak memberikan kepastian hukum mengenai waktu dan cara peserta dapat memperoleh rumah dari dana yang ditabung.

Protes publik ini memaksa pemerintah menunda pemberlakuan Tapera dan membuka kembali diskusi mengenai pentingnya partisipasi publik dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah. Tapera hanya salah satu contoh dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan partisipasi publik.

Baca Juga: Nasib Pilu Ibu Hamil 4 Anak, Suami Tewas Ditikam dan Tinggalkan Utang Ratusan Juta di RS

“Yang terakhir di isu TAPERA ini. Sebenarnya, dari sisi regulasi, itu sudah selesai. Namun, ketika di tahap implementasi, diprotes publik. Persoalan implementasi ini tidak mudah. Apalagi memaksa pekerja sektor swasta tanpa memandang mampu atau tidak, untuk menabung guna mendapatkan rumah,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, Minggu, 9 Juni 2024.

Ia membenarkan jika Tapera sudah dibahas sebelumnya. Bahkan, sudah diterapkan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ternyata terlilit persoalan juga. Kemudian diimplementasikan secara paksa terhadap pegawai swasta yang memicu kritik, baik dari pekerja maupun pemberi kerja.

“Kalau melihat dari huru-hara yang terjadi, UU ini dibuat tidak dengan perencanaan yang baik dan matang. Pokok utamanya, pembuat UU tidak mengukur kemampuan masyarakat,” katanya. Kritik publik tidak diacuhkan Ketika publik bereaksi atas kebijakan ini, pemerintah tidak langsung menanggapi.

Respons publik dibiarkan membara, malah menegaskan pemotongan upah untuk Tapera terus digaungkan, tidak peduli teriakan para pekerja yang sudah memiliki rumah mempertanyakan alasan kewajiban mereka menjadi peserta TAPERA. Setelah publik makin memanas, barulah ada keputusan untuk ditunda hingga 2027.

“Penundaan ini berarti Tapera tetap jalan. Memang harus ada review untuk UU TAPERA. Yang terpenting, ada niatan dari pembentu UU, ini mau direview atau dibatalkan,” ujar Nur. Nur menyebutkan, pembentuk UU baik pemerintah maupun DPR sepertinya tidak memahami akar masalah.

Lalu, memaksakan menggunakan logika yang keliru seperti menganalogikan program Tapera dengan manfaat yang akan dirasakan seperti di program BPJS Kesehatan. “Tujuannya tidak jelas, untuk apa? Masyarakat susah beli rumah, obat yang ditawarkan Tapera. Masalah yang ada padahal harga rumah yang mahal dan ketersediaan lahan. Seharusnya, obatnya adalah dengan menurunkan harga rumah,” katanya.

Halaman:

Editor: Suwandi Wendy

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah