SIEJ Jambi Gelar Diskusi Publik Lingkungan Berkaca dari Borneo

- 1 Juni 2024, 19:50 WIB
SIEJ Jambi Gelar Diskusi Publik Lingkungan Berkaca dari Borneo
SIEJ Jambi Gelar Diskusi Publik Lingkungan Berkaca dari Borneo /Jambian.id/Suwandi Wendy

JAMBIAN.ID - Society Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Jambi menggelar nonton bareng (nobar) dan diskusi hasil liputan investigatif tentang kerusakan hutan Pulau Borneo, Kalimantan. Diskusi dan nobar ini berlangsung di kedai kopi yang berada di Telanaipura, Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024).

Liputan kolaboratif yang dibuat SIEJ pusat melalui Depati Project itu, melibatkan sejumlah jurnalis dari beberapa media massa yang mengungkap fakta siapa dalang perusakan hutan Pulau Borneo, bagaimana proses tersebut terjadi, serta dampak besar yang muncul akibat penghancuran hutan itu.

SIEJ Simpul Jambi melihat kejahatan lingkungan di Borneo memiliki kemiripan dengan kondisi yang terjadi di Jambi. Atas nama investasi, perusakan kawasan hutan terus terjadi. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik awal tahun 2024, Provinsi Jambi masuk dalam 10 besar daerah dengan luas deforestasi terbesar di Indonesia.

Dengan melihat realita itulah SIEJ Simpul Jambi membuat diseminasi liputan penjagalan hutan Borneo untuk menarik benang merahnya ke dalam konteks Jambi.

Baca Juga: Menjelajahi Alam dengan Nyaman: Rekomendasi Sepatu Gunung Terbaik untuk Berbagai Kebutuhan

Diskusi ini bertajuk "Hutan Hilang, Bencana Datang". Para pemantik diskusi ialah dua jurnalis kolaborator Arief Nugroho, Manajer Kajian Walhi Jambi Dwi Nanto, dan Direktur KKI Warsi Adi Juneidi.

Selain SIEJ Simpul Jambi, para peserta nobar dan diskusi ini berasal dari AJI Jambi, Setara Jambi, WWF, Perkumpulan Hijau, para jurnalis, mahasiswa, dan sebagainya.

Arief Nugroho mengatakan liputan itu dilakukan pada Maret 2024. Para jurnalis dan Depati Project awalnya mendapatkan laporan deforestasi dan penggusuran tanah yang dikelola masyarakat adat di Desa Kuala Hilir, Simpang Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat, Kalimantan (Pulau Borneo).

Sesampai di lokasi itu, para jurnalis meliput kawasan yang sudah dirusak PT Mayawana. Masyarakat adat dan satwa terdampak deforestasi tersebut.

"Bagi masyarakat adat, itu sangat penting karena obat-obatan dan makan ada di situ (hutan). Beruntung pembabatan hutan itu dihentikan sementara. Desa Kalau Hilir melakukan perlawanan. Karena mereka khawatir hutan dan ladang yang mereka miliki dibabat dan digusur oleh perusahaan. Jika ditebang habis maka keanekaragaman hayati di sini punah," katanya.

Halaman:

Editor: Suwandi Wendy


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah